Jumat, 14 November 2014

MAKALAH PEMBELAJARAN KELAS RANGKAP ” Meningkatkan Mutu PKR Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif(Cooperative Learning) Dengan Mengaitkan Pembelajaran Konstruktivisme”



Tugas Kelompok
MAKALAH PEMBELAJARAN KELAS RANGKAP
Meningkatkan Mutu  PKR Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif(Cooperative Learning)  Dengan Mengaitkan Pembelajaran Konstruktivisme
OLEH:
Kelompok I
INDANG NURTANIA         (A1B3 13 085)
ARIFATUL HIDAYAH       (A1B3 13 118)
MANLY PRAYNILVEN F  (A1B3 13 109)
KARLINA                             (A1B3 13 090)
PUTU ARIANI                      (A1B3 13 088)
MEYRANI THAMRIN         (A1B3 13 088)
KADEK RESTIKA A.          (A1B3 13 092)
KELAS IIIC
PROGRAM STUDI PGSD-S1
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2014

KATA PEMGENTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Profesi Pendidikan tentang Peningkatan Profesi Keguruan.
Adapun makalah Pembelajaran Kelas Rangkap tentang Meningkatkan Mutu  Pkr Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif(Cooperative Learning)  Dengan Mengaitkan Pembelajaran Konstruktivisme ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran dan kritik kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki makalah ini. 
Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari makalah Profesi Pendidikan tentang Peningkatan Profesi Keguruan ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan inpirasi terhadap pembaca.

Kendari,  September 2014


Penyusun


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang                                                                                                           
B.     Rumusan Masalah                                                                                                      
C.    Tujuan                                                                                                                        

BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pembelajaran Kelas Rangkap (PKR)                                                       
B.     Perlunya Pembelajaran Kelas Rangkap                                                                      
C.    Pembelajaran  Konstruktivisme Dan Pembelajaran  Kooperatif                                
D.    Penerapan Pembelajaran Kelas Rengkap (PKR)                                                        

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan                                                                                                                
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
D.    Latar Belakang
Di Indonesia yang mempunyai wilayah yang luas dan terdiri dari ribuan pulau, tidak dapat dihindari adanya permasalahan penyebaran dan permasalahan perbedaan. Begitu juga dalam sistem pendidikan kita. Misalnya dalam penyebaran guru SD, sistem pendidikan kita belum mampu menyebarkan guru SD secara merata ke segala penjuru wilayah di tanah air. Akibatnya masih terjadi kekurangan guru SD secara lokal dimana-mana.
Dalam masalah perbedaan kualitas hasil belajar, pada umumnya murid SD di kota-kota besar jauh lebih baik dibandingkan dengan mereka yang berada di daerah terutama di daerah yang terpencil. Akibatnya kekurangan guru mungkin saja akan menambah adanya perbedaan ini.
Namun demikian, mengajar dengan merangkap kelas bukan berarti merupakan penyebab terjadinya kurang baiknya kualitas hasil belajar mungkin hal ini dikarenakan kita belum menemukan teknik yang tepat untuk melakukan Pembelajaran Kelas Rangkap (PKR). Dalam pembahasan ini, kita akan memahami hakikat PKR dan menerapkannya dengan Model Cooperative Learning yang dikaitkan dengan Pembelajaran Konstruktivisme, oleh karena itu kita tidak lagi mempunyai anggapan bahwa PKR merupakan suatu masalah yang sulit untuk diatasi. Namun justru sebaliknya pada diri kita akan mendapatkan pemahaman bahwa PKR adalah suatu tantangan dan kenyataan tersebut harus kita hadapi sebagai tugas guru SD.
Disamping itu PKR, bukan saja sekedar kenyataan yang harus dihadapi oleh guru, tetapi PKR juga mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh guru yang tidak mengajar dikelas rangkap.

E.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan yakni :
1.      Apa yang dimaksud dengan hakikat pembelajaran kelas rangkap (PKR)?
2.      Mengapa pembelajaran kelas rangkap diperlukan (PKR) ?
3.      Apa yang dimaksud dengan pembelajaran Konstruktivisme dan model Cooperative learning?
4.      Bagaimana menerapkan PKR dengan Model Cooperative Learning yang dikaitkan dengan Pembelajaran Konstruktivisme?

F.     Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai melalui penulisan makalah ini adalah:
1.      Menjelaskan hakikat kelas rangkap (PKR).
2.      Mengetahui perlunya pembelajaran kelas rangkap (PKR).
3.      Menjelaskan model Cooperative Learning
4.      Penerapan PKR dengan Pembelajaran Konstruktivisme dan Model Cooperative Learning


BAB II
PEMBAHASAN

MENINGKATKAN MUTU  PKR DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF(COOPERATIVE LEARNING)  DENGAN MENGAITKAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME
E.     PENGERTIAN PEMBELAJARAN KELAS RANGKAP (PKR)
Konsep pembelajaran kelas rangkap (PKR) sebenarnya tidak hanya dikenal di Indonesia. di Negara-negara maju sekaliun PKR dikenal. Di Northem Territory of Australia, 40% dari sekolah yang ada di kwasan tersebut menerapkan PKR. Bahkan di Amerika Serikat pun ada PKR, khususnya untuk jenjang sekolah dasar (Aria Djalil, dkk, 2009)..
Susilowati, mendeskripsikan PKR sebagai suatu bentuk pembelajaran yang mempersyaratkan seorang guru mengajar dalam satu ruang kelas atau lebih, dalam waktu yang sama, dan menghadapi dua atau lebih tingkat kelas yang berbeda. PKR juga mengandung makna, seorang guru mengajar dalam satu ruang kelas atau lebih dan menghadapi murid-murid dengan kemampuan belajar yang berbeda. Dari definisi ini jelas bahwa ada pekerjaan ganda dari seorang guru, yang mestinya dilakukan oleh lebih dari seorang guru. PKR, menurut Susilowati, dkk., ada beberapa macam, misalnya:
1)      PKR 221 : Dua kelas, dua mata pelajaran dalam satu ruangan,
2)      PKR 222 :Dua kelas, dua mata pelajaran dalam dua ruangan,
3)      PKR 333 : Tiga kelas, tiga mata pelajaran dalam tiga ruangan

F.     PERLUNYA PEMBELAJARAN KELAS RANGKAP
Ada beberapa alasan diperlukannya pembelajaran kelas rangkap (Susilowati, dkk.), diantaranya ialah:
1.      Alasan Geografis
Sulitnya lokasi, terbatasnya sarana transportasi, permukiman yang berpindah-pindah dan adanya mata pencaharian khusus, seperti menangkap ikan, menebang kayu dan sebagainya, mendorong penggunaan PKR. Saat itu (1995), demam mencari emas sedang memanas di Kalimantan Tengah. Di desa karombang misalnya, diantara penebang mas tradisional ada yang memboyong anak-anaknya yang sudah berumur seusia anak SD. Di antaranya bahkan ada yang sudah duduk di SD. Dengan kondisi ini, sekolah dengan satu guru (one-school teacher) adalah solusinya.
2.      Alasan Demografis
Untuk mengajar murid dalam jumlah yang kecil, apa lagi tinggal di daerah pemukiman yang amat jarang maka PKR dinilai sebagai pendekatan pembelajaran yang praktis.
3.      Kurang Guru
Walaupun jumlah guru secara keseluruhan mencukupi, sulit untuk mencari guru yang dengan suka cita mengajar di daerah terpencil. Praktik penempatan guru SD mirip kerucut terbalik. Yang lancip adalah SD di daerah terpencil dan jumlah guru yang tersedia bertugas di daerah terpencil. Terbatasnya sarana transportasi, alat dan media komunikasi dapat menciutkan nyali guru untuk bertugas di daerah terpencil. Belum lagi harga keperluan sehari-hari yang jauh lebih mahal daripada di daerah perkotaan, sementara besarnya gaji yang diterima tidak berbeda. Ditambah dengan tanggal gajian yang lambat dan tidak teratur, dan terbatasnya peluang untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan lanjutan, serta pengembangan karier maka lengkaplah sudah minat guru untuk mengadu nasib di daerah terpencil.
4.      Terbatasnya Ruang Kelas
Walau jumlah muridnya cukup besar, jumlah ruang kelas yang tersedia jauh lebih kecil daripada rombongan belajar. Salah satu jalan untuk mengarasi masalah ini adalah menggabungkan dua atau lebih rombongan yang diajar oleh seorang guru, dan tentu saja PKR diperlukan.
5.      Adanya Guru Yang Tidak Hadir
Alasan ini tidak hanya berlaku bagi SD daerah terpencil, di kota besar pun juga berlaku. Seperti di Jakarta, musibah banjir dapat menghambat guru untuk datang mengajar. Guru yang tidak kena musibah atau beruntung karena berumah dekat sekolah, harus mengajar kelas yang tidak ada gurunya.
6.      Alasan Lainnya
Ketika yang dihadapi seorang guru baik ia mengajar di daerah terpencil maupun diperkotaan adalah menghadapi murid dengan tingkat kemampuan dan kemajuan belajar yang berbeda. Bahkan hal ini pun dapat terjadi diruang dan tingkat kelas yang sama. Di daerah perkotaan yang padat penduduknya ada kemungkinan seorang guru menghadapi murid lebih dari 40 atau 50 orang hal ini juga dapat terjadi disatu sekolah favorit karena besarnya minat orang tua untuk mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah tersebut, sementara jumlah ruang kelas dan mungkin pula gurunya tidak mencukupi. Sudah barang tentu, sulit untuk mengharapkan berlangsungnya proses belajar mengajar yang efektif (Susilowati, dkk.).
Dalam konteks seperti ini maka PKR dapat menjadi salah satu pilihan yang tepat. Satu ruang kelas yang tadinya berjumlah 40 orang atau lebih, yang diajar oleh seorang guru pada waktu dan dalam mata pelajaran yang sama maka dengan PKR dimungkinkan memilah murid menjadi dua kelas atau lebih subkelas yang terdiri atas 10-20 murid. Disetiap subkelas inilah, dalam waktu yang hamper bersamaan, berlangsung pembelajaran denga bimbingan guru, tutor sebaya atau tutor kakak. Dengan demikan, pengertian perangkapan tidak lagi semata-mata dilihat dari dua atau lebih tingkat kelas yang berbeda, tetapi juga dalam satu tingkat kelas yang sama, namun terdiri dari murid  dengan tingkat kemampuan dan kemajuan yang berbeda. Perbedaan kemampuan dan kemajuan diantara murid pada tingkat kelas yang sama dapat terjadi tidak hanya dalam satu mata pelajaran yang sama, tetapi juga dalam mata pelajaran yang brrbeda.
Namun saat ini pengertian PKR di Indonesia ditekankan pada mengajar dua atau lebih tingkat kelas yang berbeda pada waktu yang sama (Susilowati, dkk.).

G.    PEMBELAJARAN  KONSTRUKTIVISME DAN PEMBELAJARAN  KOOPERATIF
a.      Pembelajaran Konstruktivisme
Pendekatan Konstruktivesme dalam proses pembelajaran didasari oleh kenyataan bahwa tiap individu memiliki kemampuan untuk mengonstruksi kembali pengalaman atau pengetahuan yang telah dimilikinya. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa pembelajaran konstruktivisme merupakan satu tehnik pembelajaran yang melibatkan peserta didik untuk membina sendiri secara aktif pengetahuan dengan menggunakan pengerahuan yang telah ada dalam diri mereka masing-masing (Nabisi Lapono, dkk, 2010). Dalam pembelajaran konstruktivisme, peranan guru hanya sebagai fasilitator atau pencipta kondisi belajar yang memungkinkan pesserta didik secara aktif mencari sendiri informasi, mengasimilasi dan mengadaptasi berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki masing-masing. Dengan kata lain pembelajaran konstruktivisme peserta didik memegang peran kunci dalam mencapai kesuksesan belajarnya. Sedangkan guru hanya berperan sebagai fasilitator. Dengan demikian, peranan guru dalam pembelajaran konstruktifisme adalah tidak inti, melainkan siswalah yang harus mendapatkan tekanan utama (student-centered learning). Siswa harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif mereka (Nabisi Lapono, dkk, 2010). Proses mandiri dalam berpikir siswa perlu dibantu oleh guru. Sesuai dengan Piaget tersebut, guru perlu menyadari bahwa siswa meski kecil sudah memiliki pemikiran pula, dan inilah yang perlu dibantu perkembangannya (Nabisi Lapono, dkk, 2010).
Dalam praktiknya pembelajaran konstruktivisme lebih banyak bersifat belajar dalam kelompok serta masyarakat, lebih banyak dikembangkannya kesempatan bagi siswa untuk mengekspresikan apa yang mereka ketahui dan yang tidak mereka ketahui. Pembelajaran konstruktivisme menuntut pembelajar yang berpikiran luas dan mendalam serta sabar dan peka terhadap gagasan-gagasan yang berbeda dari siswa. Sedang dalam sistem pembelajaran konstruktif sangat penting bagi guru diberi kebebasan untuk mengembangkan kelasnya berdasarkan situasi perkembangan berpikir siswa. Guru perlu diberi keleluasaan untuk mencoba bermacam-macam cara dan pola membantu keaktifan siswa. Guru perlu diberi kebebasan untuk menyediakan macam-macam fasilitas yang cocok untuk lebih meningkatkan peluang bagi siswa dalam membentuk pengetahuan mereka. Constructivism learning menggunakan bermacam-macam kesempatan learning by doing. Kegiatan merumuskan pertanyaan-pertanyaan tentang konsep-konsep yang akan dipelajari, membuat pengamatan, dan saling memberikan andil pengetahuan terdahulu yang telah diketahui (Nabisi Lapono, dkk, 2010).

b.      Pembelajaran Kooperatif (Cooperative learning)
Strategi pembelajaran kooperatif atau gotong royong (Cooperative Learning) adalah bentuk pengajaran yang membagi siswa dalam beberapa kelompok yang bekerjasama antara satu siswa dengan siswa lainnya untuk memecahkan masalah. Strategi kooperatif ini lebih akrab dengan belajar kelompok. Tiap-tiap kelompok telah diberi tugas oleh guru untuk mengerjakan soal atau bisa pula masalah lain yang bisa dijadikan bahan diskusi dengan teman-teman kelompoknya. Tiap-tiap siswa diharapkan mampu terlibat aktif dalam mengerjakan tugas yang telah diberikan oleh guru (Rudi Hartono, 2013)

Pembelajaran Kooperatif atau Cooperative learning mengacu pada metode pengajaran dimana siswa bekerja dalam satu kelompok kecil, saling membantu dalam belajar. Dalam pembelajaran kooperatif siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda satu sama lain (Imas Kurniasih & Berlin Sani, 2013).
Dengan model pembelajaran Cooperative learning ini mampu merangsang dan menggugah potensi siswa secara optimal dalam suasana belajar pada kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 2 sampai 6 orang siswa. Pada saat siswa belajar dalam kelompok akan berkembang suasana belajar yang terbuka dalam dimensi kesejawatan, karena pada saat itu akan terjadi proses belajar kolaboratif dalam hubungan pribadi yang saling membutuhkan. Pada saat itu juga siswa yang belajar dalam kelompok kecil akan tumbuh dan berkembang pola belajar tutor sebaya (Peer Group) dan belajar secara bekerjasama (cooperative), (Imas Kurniasih & Berlin Sani, 2013).
Ada aturan dalam sebuah kelompok. Guru mesti memberikan aturan tersendiri agar semua siswa terlibat aktif dalam sebuah kelompok , seperti setiap siswa dalam sebuah kelompok harus berpendapat dan memberi masukan terhadap tugas yang sedang dikerjakan. Ini menjadi penting dalam sebuah belajar kelompok mengingat banyak belajar kelompok itu sekedar nama, sedangkan keterlibatan aktif untuk urung rembuk dalam memecahkan atau mengerjakan tugas sama sekali tidak berperan. Membuat aturan dalam sebuah kelompok menjadi keharusan bagi guru agar siswa terlibat secara keseluruhan.
Setiap kelompok dalam pembelajaran kooperatif tidak membedakan etnis, bahasa, jenis kelamin, kemampuan akademik, serta suku yang berbeda. Semuanya membaur dalam satu kelompok, saling mengisi menambahkan, memberi masukan dan tentu belajar menerima kekurangan teman. Semua perbedaan itu terkikis dengan tujuan bersama untuk mengerjakan tugas kelompok. Guru memberikan gambaran tujuan agar perencanaan, pelaksaan dan evaluasi kelompok terarah dengan jelas (Rudi Hartono, 2013)
Ada langkah-langkah sintakmatik dalam pembelajaran kooperatif (Arends, 2004: 361-370). Pembelajaran dalam kooperatif dimulai dengan guru menginformasikan tujuan-tujuan dari pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti dengan penyajian informasi, sering dalam bentuk teks bukan verbal. Kemudian dilanjutkan langkah-langkah di mana siswa di bawah bimbingan guru bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan tugas-tugas yang saling bergantung. Fase terakhir dari pembelajaran kooperatif meliputi penyajian produk akhir kelompok atau mengetes apa yang telah dipelajari oleh siswa dan pengenalan kelompok dan usaha-usaha individu.
Secara prinsip dasar pembelajaran kooperatif sama, menurut sintaks tersebut, namun dalam praktiknya terdapat beberapa variasi-variasi. Arends, menyebutkan paling tidak ada empat pendekatan pembelajaran kooperatif, penyebab variasi tersebut, ialah STAD (Students Teams Achievement Divisions), Jigsaw, Penyelidikan kelompok (Group Investigation), dan pendekatan struktur.
STAD merupakan pendekatan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Guru yang menggunakan STAD, juga mengacu kepada belajar kelompok siswa, menyajikan informasi akademik baru kepada siswa setiap minggu menggunakan presentasi verbal atau teks. Siswa dalam suatu kelas tertentu dipecah menjadi kelompok dengan anggota 4-5 orang, setiap kelompok haruslah heterogen, terdiri dari laki-laki dan perempuan, berasal dari berbagai suku, memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Anggota tim menggunakan lembar kegiatan atau perangkat pembelajaran yang lain untuk menuntaskan materi pelajarannya dan kemudian saling membantu satu sama lain untuk memahami bahan pelajaran melalui tutorial, kuis, satu sama lain dan atau melakukan diskusi. Secara individual setiap minggu atau setiap dua minggu siswa diberi kuis. Kuis itu diskor, dan tiap individu diberi skor perkembangan. Skor perkembangan ini tidak berdasarkan pada skor mutlak siswa, tetapi berdasarkan pada seberapa jauh skor itu melampaui rata-rata skor yang lalu (La Iru & Ld. Safiun A., 2012).
Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins (La Iru & Ld. Safiun A., 2012). Dalam pembelajaran kooperatif model Jigsaw ini, siswa dikondisikan untuk menjadi ahli dan sekaligus pengumpul informasi. 6 Siswa ini difasilitasi peran sebagai tim ahli, yang melakukan investigasi atau mendalami suatu informasi, dan memberikannya pada teman-temannya. Pada yang yang bergantian, siswa tersebut berperan sebagai penerima informasi dari teman lain yang berperan menjadi tim ahli. Jadi di sini ada pembagian tugas atau peran, serta sharing informasi dalam membangun pemahaman atau pengetahuan.
Penyelidikan berkelompok (Group Investigation) dipandang merupakan model pembelajaran kooperatif yang paling kompleks dan paling sulit untuk diterapkan. Model ini dikembangkan pertama kali oleh Thelan (La Iru & Ld. Safiun A., 2012). Berbeda dengan STAD dan jigsaw, siswa terlibat dalam perencanaan baik topik yang dipelajari maupun bagaimana jalannya penyelidikan mereka. Pendekatan ini memerlukan norma dan struktur kelas yang lebih rumit daripada pendekatan yang lebih terpusat pada guru. Dalam penerapan investigasi kelompok ini guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok dengan anggota 5 atau 6 siswa yang heterogen. Dalam beberapa kasus, kelompok dapat dibentuk dengan mempertimbangkan keakraban persahabatan atau minat yang sama dalam topik tertentu. Selanjutnya siswa memilih topik untuk diselidiki, melakukan penyelidikan yang mendalam atas topik yang dipilih itu, serta menyiapkan dan mempresentasikan laporannya kepada seluruh kelas (La Iru & Ld. Safiun A., 2012).
Pendekatan struktural dikembangkan oleh Spencer Kagen, dkk. Pendekatan ini memberi penekanan pada penggunaan struktur tertentu yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Terdapat dua macam struktur PS yang terkenal (La Iru & Ld. Safiun A., 2012), yaitu numbered-head-togther (NHT)dan think-pairshare (TPS).
1.    Struktur Numbered-Head-Together (NHT) / Penomoran berpikir bersama.
Struktur NHT biasanya juga disebut berpikir secara berkelompok adalah suatu pendekatan yang dikembangkan oleh Spencer Kagen. NHT digunakan untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut. Sebagai gantinya mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas.
2.    Struktur think-pair-share (TPS) / Berpikir berpasangan berbagi
Struktur berpikir-berpasangan-berbagi memiliki langkah-langkah yang ditetapkan secara eksplisit untuk memberi siswa waktu lebih banyak untuk berpikir, menjawab, dan saling membantu satu sama lain.
Struktur tugas yang dikembangkan oleh Kagen ini dimaksudkan sebagai alternatif bagi struktur kelas tradisional, seperti resitasi, di mana guru mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas dan siswa memberi jawaban setelah mengangkat tangan dan ditunjuk. Struktur ini menghendaki siswa bekerja saling membantu dalam kelompok kecil dan lebih dicirikan oleh penghargaan kooperatif, daripada individual. Tipe pendekatan struktur ini mempunyai ciri: 1) Tujuan kognitifnya berupa Informasi akademik sederhana, 2) Tujuan sosialnya: mengembangkan keterampilan kelompok dan keterampilan sosial, 3) Struktur tim: bervariasi, berdua, bertiga, kelompok 4-6 orang anggota, 4) Pemilihan topik pelajaran: biasanya masih dilakukan guru, 5) Kegiatan utama adalah siswa mengerjakan tugas-tugas sosial dan kognitif, dan 6) Penilaiannya dilakukan dengan bervariasi teknik penilaian.

H.    PENERAPAN PEMBELAJARAN KELAS RENGKAP (PKR)
1.      Dengan Teori Belajar Konstruktivisme
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru kepikiran peserta didik. Artinya, bahwa peserta didik harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya, dengan kata lain, peserta didik tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap di isi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Dari uaraian tersebut maka pembelajaran konstruktivisme sangatlah cocok di terapkan dalam pembelajaran kelas rangkap namun harus di kairkan dengan pembelajaran kooperatif, karena pada pembelajaran konstruktivisme guru tidak begitu terbebani dalam mengajar di karenakan guru membiarkan siswa untuk belajar sendiri, namun guru juga sesekali memberi dorong apabila ada suatu masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh siswa. Guru hanya membantu peserta didik dalam menyelesaikan suatu masalah atau pokok pikiran apabila mereka mengalami jalan buntu. Guru juga mendorong peserta didik untuk belajar secara kooperatif dalam menyelesaikan suatu masalah atau pokok pikiran yang berkembang di kelas.
2.      Dengan Menggunakan Model Cooperative Learning (CL)
Dalam model pembelajaran Kooperatif dapat kita simak pada hasil observasi yang dilakukan oleh Paidi, dkk. di SDN Bantul Timur. Gempa 27 Mei 2006 telah merobohkan sebagian besar ruang kelas dan ruang-ruang kerja lainnya, rusaknya sebagian besar sarana belajar-mengajar, korban fisik sejumlah siswa, guru dan keluarganya, serta trauma sejumlah besar siswa dan guru, serta TU. Kegiatan belajar mengajar pascagempa di sekolah ini jauh dari sempurna. Beberapa guru menyelenggarakan kegiatan belajar di tenda darurat, beberapa kelas menumpang di tempat lain, dan adanya kelas yang masuk ruang secara bergantian (shift pagi-sore). Juga, tidak jarang terjadinya kelas kosong atau dipulangkan lebih awal karena ketidakhadiran sebagian guru. Tidak jarang pula seorang guru harus bertanggung jawab pada dua rombongan belajar sekaligus, yang terpaksa disanggupi dengan berbagai keterbatasannya. Dari segi efektivitas pencapaian tujuan pembelajaran (indikator ketercapaian kompetensi), kondisi tersebut jelas sangat kurang efektif dan kurang efisien. Banyak kelas yang gaduh, siswa yang bermain-main dalam jam pelajaran, banyak waktu belajar terbuang, dan ketidaktercapaian sejumlah tujuan pembelajaran (sumber:www.staff.uny.ac.id).
Hasil observasi tersebut jelas menunjukkan adanya problem kelas yang menuntut solusi atau tindakan penanganan segera. Untuk beberapa macam problem di kelas-kelas di SD Bantul Timur tersebut, salah satu alternatif solusinya adalah penggunaan atau pelaksanaan pembelajaran kelas rangkap (PKR) dengan mengimplementasikan cooperative learning (CL) tipe pendekatan struktur. Pembelajaran kelas rangkap dengan strategi relevan ini, dipandang sangat tepat untuk mengatasi problem kelas akibat ketidakcukupan jumlah atau ketidakhadiran guru. Model Cooperative Learning sendiri sangat sesuai digunakan dalam PKR, karena aktivitas berfokus pada siswa, yang memacu kemandirian belajar siswa, meminimalisasi dominasi guru, serta menempatkan peran guru sebagai fasilitator (sumber: www.staff.uny.ac.id).
Bagaimana prosedur dan efisiensi PKR dengan Cooperative Learning ini dalam menangani permasalahan kekurangan guru di SD tersebut, perlu dilakukan? Meskipun sudah lebih dari empat bulan peristiwa gempa disaat itu, namun implementasi PKR, khususnya di SD tersebut masih dinilai urgen. Sehingga mengimplementasi PKR dengan CL untuk memperbaiki kelas guna meningkatkan efektivitas pembelajaran, sekaligus untuk memperbaiki kinerja guru dipandang perlu dilakukan. Penelitian tersebut dirasakan semakin urgen, karena diharapkan hasilnya dapat membantu memecahkan masalah rendahnya efektivitas proses belajar-mengajar di daerah pascagempa, khususnya di daerah Bantul; serta mampu menghasilkan model pemecahan masalah pembelajaran di daerah pascagempa (pasca bencana alam) (sumber:staff.uny.ac.id)
Dari penelitian di atas, sebenarnya dapat pula kita mengambil kesimpulan bahwa PKR dengan cooperative learning tidak hanya diterapkan pada saat terjadi bencana seperti di daerah Bantul tersebut, namun dapat pula di terapkan di daerah-daerah terpencil atau sekolah-sekolah yang masih kekurangan guru. Karena pada model cooperative learning aktivitas berfokus pada siswa, yang memacu kemandirian belajar siswa, meminimalisasi dominasi guru, serta menempatkan peran guru sebagai fasilitator. Pada model cooperative learning guru sangat mudah membagi waktu dari kelas yang satu dengan kelas yang dirangkapnya.
Dari kedua pembelajaran di atas sebenrnya pembelajaran konstruktivisme sangat relevan dengan pembelajaran kooperatif, karena pada pembelajaran kooperatif ialah bentuk pengajaran yang membagi siswa dalam beberapa kelompok yang bekerja sama antara satu siswa dengan siswa lainnya untuk memecahkan masalah. Sedangkan pembelajaran konstruktivisme adalah satu teknik pembelajaran yang melibatkan peserta didik untuk membina sendiri secara aktif pengetahuan dengan menggunakan pengetahuan yang telah ada dalam diri mereka masing-masing.

Salah satu contoh Pembelajaran Kelas Rangkap
Alokasi Waktu
Kelas V
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
Kelas VI
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
10 Menit
Pendahuluan :

v  Membuka dengan salam.
v  Pemberian informasi singkat tentang materi yang akan dipelajari, serta kegiatan belajar untuk masing-masing rombongan kelas.
v  Menentukan kelompok dan pembagian tugas untuk masing-masing kelompok,
25 Menit
Inti 1 :
 

v  Kegiatan kelompok: percobaan tentang perubahan benda.
v  Diskusi kelompok untuk membahas hasil percobaan.
Inti 1 :

v  Penjelasan materi tentang kegiatan Ekspor dan Impor.
v  Penjelasan tentang factor-faktor komoditas Ekpor dan Impor.
25-30 Menit
Inti 2 :

v  Presentasi hasil diskusi kelompok.
Inti 2 :

v  Diskusi kelompok tentang larangan barang yang di Ekspor dan Impor.
v  Setiap kelompok siswa membuat daftar jenis barang yang di larang untuk di Ekspor dan di Impor dengan alasannya.
5-10 Menit
Penutup :

v  Penyimpulan
v  Postes
Keterangan:  arah anak panah merupakan gerakan berpindah-pindahnya guru.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari penjelasan diatas, sebenarnya dapat pula kita mengambil kesimpulan bahwa PKR dengan cooperative learning tidak hanya diterapkan pada saat terjadi bencana seperti di daerah Bantul tersebut, namun dapat pula di terapkan di daerah-daerah terpencil atau sekolah-sekolah yang masih kekurangan guru. Karena pada model cooperative learning aktivitas berfokus pada siswa, yang memacu kemandirian belajar siswa, meminimalisasi dominasi guru, serta menempatkan peran guru sebagai fasilitator. Pada model cooperative learning guru sangat mudah membagi waktu dari kelas yang satu dengan kelas yang dirangkapnya.
Pembelajaran kooperatif sangat relvan dengan pembelajaran konstruktivisme karena pembelajaran konstruktivisme merupakan satu teknik pembelajaran yang melibatkan peserta didik untuk membina sendiri secara aktif pengetahuan dengan menggunakan pengetahuan yang telah ada dalam diri mereka masing-masing.


DAFTAR PUSTAKA
Susilowati, dkk. Pembelajaran Kelas Rangkap (Bahan Ajar Cetak). Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional
Djalil A., dkk. 2009. Pembelajaran Kelas Rangkap. Jakarta: Universitas Terbuka
Iru La dan Arihi L. S., 2012. Analisis Penerapan Pendekatan, Metode, Strategi dan Model-model Pembelajaran. Yogyakarta: Multi Presindo.
Kurniasih Imas dan Sani Berlin. 2014. Sukses Mengimplementasikan Kurikulum 2013 (Memahami Berbagai Aspek Dalam Kurikulum 2013). Yogyakarta: Kata Pena
Hartono Rudi. 2013. Ragam Mengajar Yang Mudah Diterima Murid. Yogyakarta: DIVA Press.
Lapono Nabisi, dkk. 2010. Belajar Dan Pembelajaran SD 2 SKS (Bahan Ajar Cetak). Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional