Tugas Kelompok
MAKALAH PEMBELAJARAN KELAS RANGKAP
”
Meningkatkan Mutu PKR Dengan Menggunakan
Model Pembelajaran Kooperatif(Cooperative
Learning)
Dengan Mengaitkan Pembelajaran Konstruktivisme”
OLEH:
Kelompok
I
INDANG
NURTANIA (A1B3 13 085)
ARIFATUL
HIDAYAH (A1B3 13 118)
MANLY
PRAYNILVEN F (A1B3 13 109)
KARLINA
(A1B3 13 090)
PUTU
ARIANI (A1B3 13 088)
MEYRANI
THAMRIN (A1B3 13 088)
KADEK
RESTIKA A. (A1B3 13 092)
KELAS IIIC
PROGRAM
STUDI PGSD-S1
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
HALU OLEO
KENDARI
2014
KATA PEMGENTAR
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Dengan
menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami panjatkan
puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Profesi
Pendidikan tentang Peningkatan Profesi Keguruan.
Adapun
makalah Pembelajaran Kelas Rangkap tentang Meningkatkan
Mutu Pkr Dengan Menggunakan Model
Pembelajaran Kooperatif(Cooperative
Learning)
Dengan Mengaitkan
Pembelajaran Konstruktivisme ini telah kami usahakan semaksimal
mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Namun tidak lepas
dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari segi
penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada dan
tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi
saran dan kritik kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhirnya
penyusun mengharapkan semoga dari makalah Profesi Pendidikan tentang Peningkatan
Profesi Keguruan ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat
memberikan inpirasi terhadap pembaca.
Kendari, September 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
B.
Rumusan Masalah
C.
Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pembelajaran Kelas Rangkap (PKR)
B.
Perlunya Pembelajaran Kelas
Rangkap
C.
Pembelajaran Konstruktivisme Dan Pembelajaran Kooperatif
D.
Penerapan Pembelajaran
Kelas Rengkap (PKR)
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
D.
Latar
Belakang
Di
Indonesia yang mempunyai wilayah yang luas dan terdiri dari ribuan pulau, tidak
dapat dihindari adanya permasalahan penyebaran dan permasalahan perbedaan.
Begitu juga dalam sistem pendidikan kita. Misalnya dalam penyebaran guru SD,
sistem pendidikan kita belum mampu menyebarkan guru SD secara merata ke segala
penjuru wilayah di tanah air. Akibatnya masih terjadi kekurangan guru SD secara
lokal dimana-mana.
Dalam
masalah perbedaan kualitas hasil belajar, pada umumnya murid SD di kota-kota
besar jauh lebih baik dibandingkan dengan mereka yang berada di daerah terutama
di daerah yang terpencil. Akibatnya kekurangan guru mungkin saja akan menambah
adanya perbedaan ini.
Namun
demikian, mengajar dengan merangkap kelas bukan berarti merupakan penyebab
terjadinya kurang baiknya kualitas hasil belajar mungkin hal ini dikarenakan
kita belum menemukan teknik yang tepat untuk melakukan Pembelajaran Kelas
Rangkap (PKR). Dalam pembahasan ini, kita akan memahami hakikat PKR dan menerapkannya
dengan Model Cooperative Learning yang dikaitkan dengan Pembelajaran
Konstruktivisme, oleh karena itu kita tidak lagi mempunyai anggapan bahwa PKR
merupakan suatu masalah yang sulit untuk diatasi. Namun justru sebaliknya pada
diri kita akan mendapatkan pemahaman bahwa PKR adalah suatu tantangan dan
kenyataan tersebut harus kita hadapi sebagai tugas guru SD.
Disamping
itu PKR, bukan saja sekedar kenyataan yang harus dihadapi oleh guru, tetapi PKR
juga mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh guru yang tidak mengajar
dikelas rangkap.
E.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan yakni :
1. Apa
yang dimaksud dengan hakikat pembelajaran kelas rangkap (PKR)?
2. Mengapa
pembelajaran kelas rangkap diperlukan (PKR) ?
3. Apa
yang dimaksud dengan pembelajaran Konstruktivisme dan model Cooperative
learning?
4. Bagaimana
menerapkan PKR dengan Model Cooperative Learning yang dikaitkan dengan Pembelajaran
Konstruktivisme?
F. Tujuan
Tujuan
yang ingin dicapai melalui penulisan makalah ini adalah:
1. Menjelaskan
hakikat kelas rangkap (PKR).
2. Mengetahui
perlunya pembelajaran kelas rangkap (PKR).
3. Menjelaskan
model Cooperative Learning
4. Penerapan
PKR dengan Pembelajaran Konstruktivisme dan Model Cooperative Learning
BAB II
PEMBAHASAN
MENINGKATKAN MUTU PKR DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN
KOOPERATIF(COOPERATIVE
LEARNING)
DENGAN MENGAITKAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME
E. PENGERTIAN PEMBELAJARAN KELAS RANGKAP (PKR)
Konsep pembelajaran kelas rangkap (PKR)
sebenarnya tidak hanya dikenal di Indonesia. di Negara-negara maju sekaliun PKR
dikenal. Di Northem Territory of Australia, 40% dari sekolah yang ada di kwasan
tersebut menerapkan PKR. Bahkan di Amerika Serikat pun ada PKR, khususnya untuk
jenjang sekolah dasar (Aria Djalil, dkk, 2009)..
Susilowati, mendeskripsikan PKR
sebagai suatu bentuk pembelajaran yang mempersyaratkan seorang guru mengajar
dalam satu ruang kelas atau lebih, dalam waktu yang sama, dan menghadapi dua
atau lebih tingkat kelas yang berbeda. PKR juga mengandung makna, seorang guru
mengajar dalam satu ruang kelas atau lebih dan menghadapi murid-murid dengan
kemampuan belajar yang berbeda. Dari definisi ini
jelas bahwa ada pekerjaan ganda dari seorang guru, yang mestinya dilakukan oleh
lebih dari seorang guru. PKR, menurut Susilowati, dkk., ada beberapa macam,
misalnya:
1) PKR
221 : Dua kelas, dua mata pelajaran dalam satu ruangan,
2) PKR
222 :Dua kelas, dua mata pelajaran dalam dua ruangan,
3) PKR
333 : Tiga kelas, tiga mata pelajaran dalam tiga ruangan
F.
PERLUNYA
PEMBELAJARAN KELAS RANGKAP
Ada
beberapa alasan diperlukannya pembelajaran kelas rangkap (Susilowati, dkk.),
diantaranya ialah:
1.
Alasan
Geografis
Sulitnya
lokasi, terbatasnya sarana transportasi, permukiman yang berpindah-pindah dan
adanya mata pencaharian khusus, seperti menangkap ikan, menebang kayu dan
sebagainya, mendorong penggunaan PKR. Saat itu (1995), demam mencari emas
sedang memanas di Kalimantan Tengah. Di desa karombang misalnya, diantara
penebang mas tradisional ada yang memboyong anak-anaknya yang sudah berumur
seusia anak SD. Di antaranya bahkan ada yang sudah duduk di SD. Dengan kondisi
ini, sekolah dengan satu guru (one-school
teacher) adalah solusinya.
2.
Alasan
Demografis
Untuk
mengajar murid dalam jumlah yang kecil, apa lagi tinggal di daerah pemukiman
yang amat jarang maka PKR dinilai sebagai pendekatan pembelajaran yang praktis.
3.
Kurang
Guru
Walaupun
jumlah guru secara keseluruhan mencukupi, sulit untuk mencari guru yang dengan
suka cita mengajar di daerah terpencil. Praktik penempatan guru SD mirip
kerucut terbalik. Yang lancip adalah SD di daerah terpencil dan jumlah guru
yang tersedia bertugas di daerah terpencil. Terbatasnya sarana transportasi,
alat dan media komunikasi dapat menciutkan nyali guru untuk bertugas di daerah
terpencil. Belum lagi harga keperluan sehari-hari yang jauh lebih mahal
daripada di daerah perkotaan, sementara besarnya gaji yang diterima tidak berbeda.
Ditambah dengan tanggal gajian yang lambat dan tidak teratur, dan terbatasnya
peluang untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan lanjutan, serta pengembangan
karier maka lengkaplah sudah minat guru untuk mengadu nasib di daerah
terpencil.
4.
Terbatasnya
Ruang Kelas
Walau
jumlah muridnya cukup besar, jumlah ruang kelas yang tersedia jauh lebih kecil
daripada rombongan belajar. Salah satu jalan untuk mengarasi masalah ini adalah
menggabungkan dua atau lebih rombongan yang diajar oleh seorang guru, dan tentu
saja PKR diperlukan.
5.
Adanya
Guru Yang Tidak Hadir
Alasan
ini tidak hanya berlaku bagi SD daerah terpencil, di kota besar pun juga
berlaku. Seperti di Jakarta, musibah banjir dapat menghambat guru untuk datang
mengajar. Guru yang tidak kena musibah atau beruntung karena berumah dekat
sekolah, harus mengajar kelas yang tidak ada gurunya.
6.
Alasan
Lainnya
Ketika
yang dihadapi seorang guru baik ia mengajar di daerah terpencil maupun
diperkotaan adalah menghadapi murid dengan tingkat kemampuan dan kemajuan
belajar yang berbeda. Bahkan hal ini pun dapat terjadi diruang dan tingkat
kelas yang sama. Di daerah perkotaan yang padat penduduknya ada kemungkinan
seorang guru menghadapi murid lebih dari 40 atau 50 orang hal ini juga dapat
terjadi disatu sekolah favorit karena besarnya minat orang tua untuk
mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah tersebut, sementara jumlah ruang kelas
dan mungkin pula gurunya tidak mencukupi. Sudah barang tentu, sulit untuk
mengharapkan berlangsungnya proses belajar mengajar yang efektif (Susilowati,
dkk.).
Dalam
konteks seperti ini maka PKR dapat menjadi salah satu pilihan yang tepat. Satu
ruang kelas yang tadinya berjumlah 40 orang atau lebih, yang diajar oleh
seorang guru pada waktu dan dalam mata pelajaran yang sama maka dengan PKR dimungkinkan
memilah murid menjadi dua kelas atau lebih subkelas yang terdiri atas 10-20
murid. Disetiap subkelas inilah, dalam waktu yang hamper bersamaan, berlangsung
pembelajaran denga bimbingan guru, tutor sebaya atau tutor kakak. Dengan
demikan, pengertian perangkapan tidak lagi semata-mata dilihat dari dua atau
lebih tingkat kelas yang berbeda, tetapi juga dalam satu tingkat kelas yang
sama, namun terdiri dari murid dengan
tingkat kemampuan dan kemajuan yang berbeda. Perbedaan kemampuan dan kemajuan
diantara murid pada tingkat kelas yang sama dapat terjadi tidak hanya dalam
satu mata pelajaran yang sama, tetapi juga dalam mata pelajaran yang brrbeda.
Namun
saat ini pengertian PKR di Indonesia ditekankan pada mengajar dua atau lebih
tingkat kelas yang berbeda pada waktu yang sama (Susilowati, dkk.).
G.
PEMBELAJARAN
KONSTRUKTIVISME DAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF
a. Pembelajaran
Konstruktivisme
Pendekatan
Konstruktivesme dalam proses pembelajaran didasari oleh kenyataan bahwa tiap
individu memiliki kemampuan untuk mengonstruksi kembali pengalaman atau
pengetahuan yang telah dimilikinya. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa
pembelajaran konstruktivisme merupakan satu tehnik pembelajaran yang melibatkan
peserta didik untuk membina sendiri secara aktif pengetahuan dengan menggunakan
pengerahuan yang telah ada dalam diri mereka masing-masing (Nabisi Lapono, dkk,
2010). Dalam pembelajaran konstruktivisme, peranan guru hanya sebagai
fasilitator atau pencipta kondisi belajar yang memungkinkan pesserta didik
secara aktif mencari sendiri informasi, mengasimilasi dan mengadaptasi
berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki masing-masing. Dengan kata lain
pembelajaran konstruktivisme peserta didik memegang peran kunci dalam mencapai
kesuksesan belajarnya. Sedangkan guru hanya berperan sebagai fasilitator.
Dengan demikian, peranan guru dalam pembelajaran konstruktifisme adalah tidak
inti, melainkan siswalah yang harus mendapatkan tekanan utama (student-centered
learning). Siswa harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka. Kreativitas
dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam
kehidupan kognitif mereka (Nabisi Lapono, dkk, 2010). Proses mandiri
dalam berpikir siswa perlu dibantu oleh guru. Sesuai dengan Piaget
tersebut, guru perlu menyadari bahwa siswa meski kecil sudah memiliki
pemikiran pula, dan inilah yang perlu dibantu perkembangannya (Nabisi Lapono,
dkk, 2010).
Dalam
praktiknya pembelajaran konstruktivisme
lebih banyak bersifat belajar dalam kelompok serta masyarakat, lebih
banyak dikembangkannya kesempatan bagi siswa untuk mengekspresikan apa yang
mereka ketahui dan yang tidak mereka ketahui. Pembelajaran konstruktivisme menuntut pembelajar yang berpikiran
luas dan mendalam serta sabar dan peka terhadap gagasan-gagasan yang berbeda
dari siswa. Sedang dalam sistem pembelajaran konstruktif sangat penting bagi
guru diberi kebebasan untuk mengembangkan kelasnya berdasarkan situasi
perkembangan berpikir siswa. Guru perlu diberi keleluasaan untuk mencoba
bermacam-macam cara dan pola membantu keaktifan siswa. Guru perlu diberi
kebebasan untuk menyediakan macam-macam fasilitas yang cocok untuk lebih
meningkatkan peluang bagi siswa dalam membentuk pengetahuan mereka. Constructivism
learning menggunakan bermacam-macam kesempatan learning by doing.
Kegiatan merumuskan pertanyaan-pertanyaan tentang konsep-konsep yang akan
dipelajari, membuat pengamatan, dan saling memberikan andil pengetahuan
terdahulu yang telah diketahui (Nabisi Lapono, dkk, 2010).
b. Pembelajaran
Kooperatif (Cooperative learning)
Strategi
pembelajaran kooperatif atau gotong royong (Cooperative Learning) adalah bentuk
pengajaran yang membagi siswa dalam beberapa kelompok yang bekerjasama antara satu
siswa dengan siswa lainnya untuk memecahkan masalah. Strategi kooperatif ini
lebih akrab dengan belajar kelompok. Tiap-tiap kelompok telah diberi tugas oleh
guru untuk mengerjakan soal atau bisa pula masalah lain yang bisa dijadikan
bahan diskusi dengan teman-teman kelompoknya. Tiap-tiap siswa diharapkan mampu
terlibat aktif dalam mengerjakan tugas yang telah diberikan oleh guru (Rudi
Hartono, 2013)
Pembelajaran
Kooperatif atau Cooperative learning mengacu pada metode pengajaran dimana
siswa bekerja dalam satu kelompok kecil, saling membantu dalam belajar. Dalam
pembelajaran kooperatif siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil yang
memiliki kemampuan yang berbeda-beda satu sama lain (Imas Kurniasih &
Berlin Sani, 2013).
Dengan model
pembelajaran Cooperative learning ini mampu merangsang dan menggugah potensi
siswa secara optimal dalam suasana belajar pada kelompok-kelompok kecil yang
terdiri dari 2 sampai 6 orang siswa. Pada saat siswa belajar dalam kelompok
akan berkembang suasana belajar yang terbuka dalam dimensi kesejawatan, karena
pada saat itu akan terjadi proses belajar kolaboratif dalam hubungan pribadi
yang saling membutuhkan. Pada saat itu juga siswa yang belajar dalam kelompok
kecil akan tumbuh dan berkembang pola belajar tutor sebaya (Peer Group) dan
belajar secara bekerjasama (cooperative), (Imas Kurniasih & Berlin Sani,
2013).
Ada aturan
dalam sebuah kelompok. Guru mesti memberikan aturan tersendiri agar semua siswa
terlibat aktif dalam sebuah kelompok , seperti setiap siswa dalam sebuah kelompok
harus berpendapat dan memberi masukan terhadap tugas yang sedang dikerjakan.
Ini menjadi penting dalam sebuah belajar kelompok mengingat banyak belajar
kelompok itu sekedar nama, sedangkan keterlibatan aktif untuk urung rembuk
dalam memecahkan atau mengerjakan tugas sama sekali tidak berperan. Membuat
aturan dalam sebuah kelompok menjadi keharusan bagi guru agar siswa terlibat
secara keseluruhan.
Setiap
kelompok dalam pembelajaran kooperatif tidak membedakan etnis, bahasa, jenis
kelamin, kemampuan akademik, serta suku yang berbeda. Semuanya membaur dalam
satu kelompok, saling mengisi menambahkan, memberi masukan dan tentu belajar
menerima kekurangan teman. Semua perbedaan itu terkikis dengan tujuan bersama
untuk mengerjakan tugas kelompok. Guru memberikan gambaran tujuan agar
perencanaan, pelaksaan dan evaluasi kelompok terarah dengan jelas (Rudi
Hartono, 2013)
Ada
langkah-langkah sintakmatik dalam pembelajaran kooperatif (Arends, 2004:
361-370). Pembelajaran dalam kooperatif dimulai dengan guru menginformasikan
tujuan-tujuan dari pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Fase ini
diikuti dengan penyajian informasi, sering dalam bentuk teks bukan verbal.
Kemudian dilanjutkan langkah-langkah di mana siswa di bawah bimbingan guru
bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan tugas-tugas yang saling bergantung.
Fase terakhir dari pembelajaran kooperatif meliputi penyajian produk akhir
kelompok atau mengetes apa yang telah dipelajari oleh siswa dan pengenalan
kelompok dan usaha-usaha individu.
Secara
prinsip dasar pembelajaran kooperatif sama, menurut sintaks tersebut, namun
dalam praktiknya terdapat beberapa variasi-variasi. Arends, menyebutkan paling
tidak ada empat pendekatan pembelajaran kooperatif, penyebab variasi tersebut,
ialah STAD (Students Teams Achievement Divisions), Jigsaw, Penyelidikan
kelompok (Group Investigation), dan pendekatan struktur.
STAD
merupakan pendekatan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Guru yang
menggunakan STAD, juga mengacu kepada belajar kelompok siswa, menyajikan
informasi akademik baru kepada siswa setiap minggu menggunakan presentasi
verbal atau teks. Siswa dalam suatu kelas tertentu dipecah menjadi kelompok
dengan anggota 4-5 orang, setiap kelompok haruslah heterogen, terdiri dari
laki-laki dan perempuan, berasal dari berbagai suku, memiliki kemampuan tinggi,
sedang, dan rendah. Anggota tim menggunakan lembar kegiatan atau perangkat
pembelajaran yang lain untuk menuntaskan materi pelajarannya dan kemudian
saling membantu satu sama lain untuk memahami bahan pelajaran melalui tutorial,
kuis, satu sama lain dan atau melakukan diskusi. Secara individual setiap
minggu atau setiap dua minggu siswa diberi kuis. Kuis itu diskor, dan tiap
individu diberi skor perkembangan. Skor perkembangan ini tidak berdasarkan pada
skor mutlak siswa, tetapi berdasarkan pada seberapa jauh skor itu melampaui
rata-rata skor yang lalu (La Iru & Ld. Safiun A., 2012).
Jigsaw
pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman
di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di
Universitas John Hopkins (La Iru & Ld. Safiun A., 2012). Dalam pembelajaran
kooperatif model Jigsaw ini, siswa dikondisikan untuk menjadi ahli dan
sekaligus pengumpul informasi. 6 Siswa ini difasilitasi peran sebagai tim ahli,
yang melakukan investigasi atau mendalami suatu informasi, dan memberikannya
pada teman-temannya. Pada yang yang bergantian, siswa tersebut berperan sebagai
penerima informasi dari teman lain yang berperan menjadi tim ahli. Jadi di sini
ada pembagian tugas atau peran, serta sharing informasi dalam membangun
pemahaman atau pengetahuan.
Penyelidikan
berkelompok (Group Investigation) dipandang merupakan model pembelajaran
kooperatif yang paling kompleks dan paling sulit untuk diterapkan. Model ini
dikembangkan pertama kali oleh Thelan (La Iru & Ld. Safiun A., 2012).
Berbeda dengan STAD dan jigsaw, siswa terlibat dalam perencanaan baik topik
yang dipelajari maupun bagaimana jalannya penyelidikan mereka. Pendekatan ini
memerlukan norma dan struktur kelas yang lebih rumit daripada pendekatan yang
lebih terpusat pada guru. Dalam penerapan investigasi kelompok ini guru membagi
kelas menjadi kelompok-kelompok dengan anggota 5 atau 6 siswa yang heterogen.
Dalam beberapa kasus, kelompok dapat dibentuk dengan mempertimbangkan keakraban
persahabatan atau minat yang sama dalam topik tertentu. Selanjutnya siswa
memilih topik untuk diselidiki, melakukan penyelidikan yang mendalam atas topik
yang dipilih itu, serta menyiapkan dan mempresentasikan laporannya kepada
seluruh kelas (La Iru & Ld. Safiun A., 2012).
Pendekatan
struktural dikembangkan oleh Spencer Kagen, dkk. Pendekatan ini
memberi penekanan pada penggunaan struktur tertentu yang dirancang untuk
mempengaruhi pola interaksi siswa. Terdapat
dua macam struktur PS yang terkenal (La Iru & Ld. Safiun A., 2012), yaitu numbered-head-togther
(NHT)dan think-pairshare (TPS).
1.
Struktur Numbered-Head-Together (NHT) / Penomoran berpikir bersama.
Struktur NHT biasanya juga disebut berpikir secara
berkelompok adalah suatu pendekatan yang dikembangkan oleh Spencer Kagen. NHT
digunakan untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi yang
tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi
pelajaran tersebut. Sebagai gantinya mengajukan pertanyaan kepada seluruh
kelas.
2.
Struktur think-pair-share (TPS) / Berpikir berpasangan berbagi
Struktur
berpikir-berpasangan-berbagi memiliki langkah-langkah yang ditetapkan secara
eksplisit untuk memberi siswa waktu lebih banyak untuk berpikir, menjawab, dan
saling membantu satu sama lain.
Struktur
tugas yang dikembangkan oleh Kagen ini dimaksudkan sebagai alternatif bagi
struktur kelas tradisional, seperti resitasi, di mana guru mengajukan
pertanyaan kepada seluruh kelas dan siswa memberi jawaban setelah mengangkat
tangan dan ditunjuk. Struktur ini menghendaki siswa bekerja saling membantu
dalam kelompok kecil dan lebih dicirikan oleh penghargaan kooperatif, daripada
individual. Tipe pendekatan struktur ini mempunyai ciri: 1) Tujuan kognitifnya
berupa Informasi akademik sederhana, 2) Tujuan sosialnya: mengembangkan
keterampilan kelompok dan keterampilan sosial, 3) Struktur tim: bervariasi,
berdua, bertiga, kelompok 4-6 orang anggota, 4) Pemilihan topik pelajaran:
biasanya masih dilakukan guru, 5) Kegiatan utama adalah siswa mengerjakan
tugas-tugas sosial dan kognitif, dan 6) Penilaiannya dilakukan dengan
bervariasi teknik penilaian.
H.
PENERAPAN
PEMBELAJARAN KELAS RENGKAP (PKR)
1.
Dengan
Teori Belajar Konstruktivisme
Sebagaimana
telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme pengetahuan tidak
dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru kepikiran peserta didik.
Artinya, bahwa peserta didik harus aktif secara mental membangun struktur
pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya, dengan kata
lain, peserta didik tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap di isi
dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Dari
uaraian tersebut maka pembelajaran konstruktivisme sangatlah cocok di terapkan
dalam pembelajaran kelas rangkap namun harus di kairkan dengan pembelajaran
kooperatif, karena pada pembelajaran konstruktivisme guru tidak begitu
terbebani dalam mengajar di karenakan guru membiarkan siswa untuk belajar
sendiri, namun guru juga sesekali memberi dorong apabila ada suatu masalah yang
tidak dapat dipecahkan oleh siswa. Guru hanya membantu peserta didik dalam
menyelesaikan suatu masalah atau pokok pikiran apabila mereka mengalami jalan
buntu. Guru juga mendorong peserta didik untuk belajar secara kooperatif dalam
menyelesaikan suatu masalah atau pokok pikiran yang berkembang di kelas.
2.
Dengan
Menggunakan Model Cooperative Learning
(CL)
Dalam model pembelajaran
Kooperatif dapat kita simak pada hasil observasi yang dilakukan oleh Paidi,
dkk. di SDN Bantul Timur. Gempa 27 Mei 2006 telah merobohkan sebagian besar
ruang kelas dan ruang-ruang kerja lainnya, rusaknya sebagian besar sarana belajar-mengajar,
korban fisik sejumlah siswa, guru dan keluarganya, serta trauma sejumlah besar
siswa dan guru, serta TU. Kegiatan belajar mengajar pascagempa di sekolah ini
jauh dari sempurna. Beberapa guru menyelenggarakan kegiatan belajar di tenda
darurat, beberapa kelas menumpang di tempat lain, dan adanya kelas yang masuk
ruang secara bergantian (shift pagi-sore). Juga, tidak jarang terjadinya
kelas kosong atau dipulangkan lebih awal karena ketidakhadiran sebagian guru.
Tidak jarang pula seorang guru harus bertanggung jawab pada dua rombongan
belajar sekaligus, yang terpaksa disanggupi dengan berbagai keterbatasannya.
Dari segi efektivitas pencapaian tujuan pembelajaran (indikator ketercapaian
kompetensi), kondisi tersebut jelas sangat kurang efektif dan kurang efisien.
Banyak kelas yang gaduh, siswa yang bermain-main dalam jam pelajaran, banyak
waktu belajar terbuang, dan ketidaktercapaian sejumlah tujuan pembelajaran
(sumber:www.staff.uny.ac.id).
Hasil observasi tersebut jelas
menunjukkan adanya problem kelas yang menuntut solusi atau tindakan penanganan
segera. Untuk beberapa macam problem di kelas-kelas di SD Bantul Timur
tersebut, salah satu alternatif solusinya adalah penggunaan atau pelaksanaan
pembelajaran kelas rangkap (PKR) dengan mengimplementasikan cooperative
learning (CL) tipe pendekatan struktur. Pembelajaran kelas rangkap dengan
strategi relevan ini, dipandang sangat tepat untuk mengatasi problem kelas
akibat ketidakcukupan jumlah atau ketidakhadiran guru. Model Cooperative Learning sendiri sangat
sesuai digunakan dalam PKR, karena aktivitas berfokus pada siswa, yang memacu
kemandirian belajar siswa, meminimalisasi dominasi guru, serta menempatkan
peran guru sebagai fasilitator (sumber: www.staff.uny.ac.id).
Bagaimana prosedur dan efisiensi
PKR dengan Cooperative Learning ini
dalam menangani permasalahan kekurangan guru di SD tersebut, perlu dilakukan?
Meskipun sudah lebih dari empat bulan peristiwa gempa disaat itu, namun
implementasi PKR, khususnya di SD tersebut masih dinilai urgen. Sehingga
mengimplementasi PKR dengan CL untuk memperbaiki kelas guna meningkatkan
efektivitas pembelajaran, sekaligus untuk memperbaiki kinerja guru dipandang
perlu dilakukan. Penelitian tersebut dirasakan semakin urgen, karena diharapkan
hasilnya dapat membantu memecahkan masalah rendahnya efektivitas proses
belajar-mengajar di daerah pascagempa, khususnya di daerah Bantul; serta mampu
menghasilkan model pemecahan masalah pembelajaran di daerah pascagempa (pasca
bencana alam) (sumber:staff.uny.ac.id)
Dari
penelitian di atas, sebenarnya dapat pula kita mengambil kesimpulan bahwa PKR
dengan cooperative learning tidak
hanya diterapkan pada saat terjadi bencana seperti di daerah Bantul tersebut,
namun dapat pula di terapkan di daerah-daerah terpencil atau sekolah-sekolah
yang masih kekurangan guru. Karena pada model cooperative learning aktivitas berfokus pada siswa, yang memacu
kemandirian belajar siswa, meminimalisasi dominasi guru, serta menempatkan
peran guru sebagai fasilitator. Pada model cooperative
learning guru sangat mudah membagi waktu dari kelas yang satu dengan kelas
yang dirangkapnya.
Dari kedua pembelajaran di atas
sebenrnya pembelajaran konstruktivisme sangat relevan dengan pembelajaran
kooperatif, karena pada pembelajaran kooperatif ialah bentuk pengajaran yang
membagi siswa dalam beberapa kelompok yang bekerja sama antara satu siswa
dengan siswa lainnya untuk memecahkan masalah. Sedangkan pembelajaran
konstruktivisme adalah satu teknik pembelajaran yang melibatkan peserta didik
untuk membina sendiri secara aktif pengetahuan dengan menggunakan pengetahuan
yang telah ada dalam diri mereka masing-masing.
Salah
satu contoh Pembelajaran Kelas Rangkap
Alokasi
Waktu
|
Kelas
V
Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA)
|
Kelas
VI
Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS)
|
10
Menit
|
Pendahuluan :
v
Membuka dengan salam.
v
Pemberian informasi singkat tentang materi yang akan
dipelajari, serta kegiatan belajar untuk masing-masing rombongan kelas.
v
Menentukan kelompok dan pembagian tugas untuk
masing-masing kelompok,
|
|
25
Menit
|
Inti 1 :
v
Kegiatan kelompok: percobaan tentang perubahan
benda.
v
Diskusi kelompok untuk membahas hasil
percobaan.
|
Inti 1 :
v
Penjelasan materi tentang kegiatan Ekspor dan
Impor.
v
Penjelasan tentang factor-faktor komoditas Ekpor dan Impor.
|
25-30
Menit
|
Inti 2 :
v
Presentasi hasil diskusi kelompok.
|
Inti 2 :
v
Diskusi kelompok tentang larangan barang yang
di Ekspor dan Impor.
v
Setiap kelompok siswa membuat daftar jenis
barang yang di larang untuk di Ekspor dan di Impor dengan alasannya.
|
5-10
Menit
|
Penutup :
v
Penyimpulan
v
Postes
|
Keterangan: arah anak panah merupakan gerakan
berpindah-pindahnya guru.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas, sebenarnya
dapat pula kita mengambil kesimpulan bahwa PKR dengan cooperative learning tidak hanya diterapkan pada saat terjadi
bencana seperti di daerah Bantul tersebut, namun dapat pula di terapkan di
daerah-daerah terpencil atau sekolah-sekolah yang masih kekurangan guru. Karena
pada model cooperative learning aktivitas
berfokus pada siswa, yang memacu kemandirian belajar siswa, meminimalisasi
dominasi guru, serta menempatkan peran guru sebagai fasilitator. Pada model cooperative learning guru sangat mudah
membagi waktu dari kelas yang satu dengan kelas yang dirangkapnya.
Pembelajaran kooperatif sangat
relvan dengan pembelajaran konstruktivisme karena pembelajaran konstruktivisme
merupakan satu teknik pembelajaran yang melibatkan peserta didik untuk membina
sendiri secara aktif pengetahuan dengan menggunakan pengetahuan yang telah ada
dalam diri mereka masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Susilowati, dkk. Pembelajaran Kelas Rangkap (Bahan Ajar Cetak). Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional
Djalil A., dkk. 2009. Pembelajaran
Kelas Rangkap. Jakarta: Universitas Terbuka
Iru La dan Arihi L. S., 2012. Analisis
Penerapan Pendekatan, Metode, Strategi dan Model-model Pembelajaran.
Yogyakarta: Multi Presindo.
Kurniasih Imas dan Sani Berlin. 2014.
Sukses Mengimplementasikan Kurikulum 2013 (Memahami Berbagai Aspek Dalam
Kurikulum 2013). Yogyakarta: Kata Pena
Hartono Rudi. 2013. Ragam Mengajar Yang
Mudah Diterima Murid. Yogyakarta: DIVA Press.
Lapono Nabisi, dkk. 2010. Belajar Dan
Pembelajaran SD 2 SKS (Bahan Ajar Cetak).
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional